Fire and Ice
BY ROBERT FROST
Read by N. Scott Momaday
klik disini untuk memutar
blossom english suplementary book
Senin, 09 Maret 2020
BEBERAPA TOKOH PENULIS PUISI INDONESIA
TOKOH-TOKOH BERPENGARUH DALAM PUISI INDONESIA
- CHAIRIL ANWAR
Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922
adalah penyair terkemuka Indonesia. Sering dijuluki sebagai “Si
Binatang Jalang” karena salah satu puisinya yang berjudul “Aku” atau
“Semangat”.
Oleh H.B. Jassin, Chairil Anwar dikatakan sebagai pelopor dari
Angkatan 45 dan puisi modern Indonesia. Namanya mulai terkenal dalam dunia
sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahu
1942, saat itu usianya baru 20 tahun. Selama hidupnya, dia telah menulis
sekitar 94 karya, ini termasuk 70 puisi. Semua tulisannya tersebut diterbitkan
dalam bentuk kompilasi oleh Pustaka Rakyat dengan judul Deru
Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga
Menguak Takdir (1950; bersama Asrul Sani dan Rivai Apin). Karya
Chairil Anwar sempat ditolak oleh majalah Pandji Pustaka karena
dianggap terlalu individualitas dan moderat dari aturan-aturan puisi saat itu.
Karya-karyanya tersebar dalam tulisan-tulisan di atas kertas murahan saat
pendudukan Jepang. Namun nyatanya, siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar
sekarang? Bahkan di luar negri, puisinya berjudul aku ditulis pada sebuah
tembok dan menjadi monument.
- ASRUL SANI
Asrul Sani, lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926, adalah
seorang sastrawan dan sutradara film yang ternama di Indonesia. Dia dikenal
sebagai salah satu pelopor Angkatan 45, bersama-sama dengan Chairil Anwar.
Antologi Tiga Menguak Takdir yang ditulisnya bersama-sama
dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin membuat karir kepenyairannya menanjak.
Selain itu, mereka juga memproklamirkan manifestasi sikap kebudayaan mereka
dengan Surat Kepercayaan Gelanggang, diaman hal ini membuat mereka memiliki
nama dikalangan sastrawan.
Sitor Situmorang dilahirkan dengan nama Raja Usu dengan marga
Situmoran dari Suku Batak Toba. Dia lahir di Harianboho, Tapanuli Utara,
Sumatera Utara, 2 Oktober 1923. Sitor Situmorang dikenal sebagai wartawan,
sastrawan, dan penyair Indonesia.
Karir kepenyairannya dikatakan oleh A. Teeuw bersinar setelah
meninggalnya Chairil Anwar. Dia memulai kariernya sebagai wartawan harian Suara
Nasional dan harian Waspada. Dia juga pernah menjadi pegawai Jawatan Kebudayaan
Departemen P & K, dosen Akademi Teater Nasional Indonesia, anggota Dewan
Nasional, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mewakili kalangan
seniman, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan, dan Ketua Lembaga
Kebudayaan nasional. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Sitor pernah dipenjara
sebagai tahanan politik di Jakarta mulai tahun 1967-1974.
Karya-karyanya antara lain Surat Kertas Hijau (kumpulan
puisi (1954), Jalan Mutiara (drama (1954), Dalam Sajak (kumpulan
puisi (1955), Wajah Tak Bernama (kumpulan puisi (1956), Rapar
Anak Jalang (1955), Zaman Baru (kumpulan puisi
(1962), Pangeran (kumpulan cerpen (1963), Sastra
Revolusioner (kumpulan esai (1965), Dinding Waktu (kumpulan
puisi (1976), Sitor Situmorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba (otobiografi
(1981), Danau Toba (kumpulan cerpen (1981), Angin
Danau (kumpulan puisi (1982), Bunga di Atas Batu (kumpulan
puisi (1989), Toba na Sae (1993), Guru Somalaing dan
Modigliani Utusan Raja Rom (sejarah lokal (1993), Rindu Kelana (kumpulan
puisi (1994), dan Peta Perjalanan (kumpulan puisi) yang
mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976.
- SUTARDJI CALZOUM
Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941, adalah seorang penyair terkemuka Indonesia. Pada awal karir kepenulisannya karya-karya Sutardji dimuat dalam surat kabar di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Melalui sajak-sajaknya Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai
pembaharu perpuisian di Indonesia setelah periode Angkatan 45. Terutama karena
kredo kepenyairan yang diungkapkannya bahwa hendak membebaskan kata-kata dari
kungkungan makna, dan kata hendak dikembalikannya pada fungsi kata yang
sebenarnya (yaitu sebagai penanda) seperti dalam mantra. Selain itu, dia juga
memperkenalkan cara membaca puisi yang baru dan unik di dunia kesusastraan
Indonesia.
Kumpulan sajaknya yang berjudul O Amuk Kapak adalah penerbitan
lengkap dari sajak-sajak Sutardji dari periode penulisan 1966 sampai 1979,
antologi ini merupakan gabungan dari tiga antologi sebelumnya yang berjudul
sama yaitu O, Amuk, dan Kapak. Kupulan sajak O Amuk Kapak ini mencerminkan
secara jelas pembaharuan yang dilakukan Sutardji pada perpuisian di Indonesia.
Walaupun sayangnya, dia sudah berubah aliran di masa tuanya sekarang ini dalam
hal menulis puisi.
- Dr. Abdul Hadi Wiji Muthari
Prof. Dr. Abdul Hadi Wiji Muthari atau yang lebih dikenal dengan nama Abdul Hadi WM, lahir di Sumenep, 24 Juni 1946 adalah seorang sastrawan budayawan, dan ahli filsafat Indonesia. Dia dikenal karena karya-karyanya yang bercorak sufistik dan penelitan-penetiannya dalam bidan kesusastraan Malyu di Nusantara, serta pandangan-pandangannya tentang Islma dan Pluralisme.
Para pengamat kesenian menyebutnya sebagai pencipta puisi Sufis
di era 70-an. Karena karya-karyanya banyak berisi tentang kesepian, kematian,
dan waktu. Karena itu, dia sering dibandingkan dengan sahabatnya, yaitu Taufik
Ismail, yang juga kerap menulis puisi religi.
Karya-karnya antara lain At Last We Meet Again, Arjuna
in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut belum
Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret panjang Seorang
Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luar Prabhang dan
Pembawa Matahari, dan lain-lain.
- Taufiq Ismail
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatra barat, 25 Juni 1935, adalah seorang penyair dan sastrawan Indonesia. Sejak masih di SMA, dia sudah bercita-cita akan menjadi seorang sastrawan. Untuk menbiayai mimpi sastranya itu, dia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan, agar bisa memiliki bisnis peternakannya sendiri (tapi ini gagal, dan tidak terlaksana).
Oleh H.B. Jassin, Taufiq Ismail disebut sebagai penyair Angkatan
66. Tapi Taufiq Ismail merisaukannya karena takut merasa puas dan membuatnya
malas menulis lagi. Karya-karyanya antara lain Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan,
Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:
Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawan-Antologi
Sastra Aceh, dan masih banyka lagi.
- Willibrordus Surendra Broto
Rendra
Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang lebih dikenal dengan nama W.S. Rendra lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935, adalah sastrawan besar Indonesia.
Sejak muda, dia telah memulai karir sastrawannya dengan menulis
banyak puisi, naskah drama, cerpen, dan esai sastra di banyka media massa.
Puisinya pertama kali dipublikasikan pada tahun 1952 di majalah Siasat.
Dari situ, puisi-puisinya terus dipublikasikan di berbagai majalah pada masa
itu seperti malajalah Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat
Baru. Dan terus berlanjut pada decade 60-an sampai 70-an.
Dalam bukunya yang berjudul Sastra Indonesia Modern
II (1989), A. Teeuw mengatakan bahwa dalam sejarah kesusastraan
Indonesia modern, Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau
kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari
karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karyanya antara lain Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan
sajak, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua,
Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten van een
Dichter, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan Oleh Angin, Orang Orang
Rangkasbitung, Rendra: Ballads and Blues Poem, State of Emergency, dan Do’a
Untuk Anak-Cucu.
- Dr. Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, lahir di Surakarta, 20 maret 1940, adalah seorang penyair Indonesia. Akrab disebut SDD, dikenal melalui puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana dan romantis. Beberapa puisinya sangat populer dan dikenal oleh banyak lapisan masyarakat, misalnya puisinya yang berjudul Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Sebagian besar kepopuleran puisinya ini disebabkan karena puisi-puisi sapardi dibuat musikalisasinya.
- H. Ahmad Mustofa Bisri
K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Mus, lahir di Rembang, Jawa tengah, 10 Agustus 1944, adalah seorang penyair dan penulis kolom yang sangat dikenal dikalangan sastrawan. Selain itu, dia juga adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin di Leteh, Rembang, Salah seorang pendeklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, dan sekaligus perancang logo PKB yang digunakan hingga sekarang ini.
Karya-karyanya antara lain Syair Asmaul Husna (bahasa
Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1991,1994), Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993),
Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Al-Muna
(Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang,
1997), dan lain-lain
- Ajib Rosidi
Ajib Rosidi, lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938, adalah sastrawan, penulis, budayawan, dosen, pendiri dan redaktur beberapa penerbit, serta ketua Yayasan Kebudayaan Rancage.
Menurut Dr. Ulrich Kratz, Ajip Rosidi adalah pengarang sajak dan
cerita pendek yang paling produktif sampai tahun 1983, dengan 326 judul
karyanya yang dimuat dalam 22 majalah. Buku pertamanya yang berjudul Tahun-tahun
Kematian terbit ketika dia berusia 17 tahun. Dia juga menulis kumpulan
sajak, kumpulan cerpen, roman, drama, esai dan kritik, hasil penelitian, dan
lain-lain.
11. Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal dengan nama Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung tema islami. Dia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, dan penyair. Karya-karya puisinya antara lain “M” Frustasi (1976), Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978), Sajak-Sajak Cinta (1978), Nyanyian Gelandangan (1982), 102 Untuk Tuhanku (1983), Suluk Pesisiran (1989), Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990), Cahaya Maha Cahaya (1991), Sesobek Buku Harian Indonesia (1993), Abacadabra (1994), dan Syair-syair Asmaul Husna (1994).
Langganan:
Komentar (Atom)









